Lawangpos.com, Bangka Belitung – Sidang sengketa informasi publik antara Edi Irawan melawan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bangka Belitung Ditjen SDA Kementerian PUPR pada Kamis (2/10/2025) di Kantor Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru berakhir antiklimaks. Agenda pemeriksaan awal harus disela karena majelis menilai sebagian permintaan informasi yang disengketakan bukan kewenangan Komisi Informasi Daerah.
Namun penyelaan itu bukan berarti menutup ruang bagi pemohon. Justru, fakta persidangan ini memperlihatkan wajah buram keterbukaan informasi di tubuh lembaga negara yang mestinya tunduk pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagaimana tidak, seorang warga negara yang menempuh jalur resmi, didukung aturan, malah berhadapan dengan tembok birokrasi yang berlapis.
BWS Babel, meski berkantor di daerah, adalah kepanjangan tangan Kementerian PUPR. Konsekuensinya, sengketa informasi publik semestinya berada dalam kewenangan Komisi Informasi Pusat. Tetapi publik tentu bertanya, apakah alasan kewenangan ini hanya dijadikan “jalan keluar” untuk menunda-nunda keterbukaan data?
Edi Irawan telah memenuhi prosedur hukum: mengajukan permohonan, mencatatkan sengketa, hingga menghadiri sidang. Haknya jelas dijamin undang-undang. Maka, yang patut digarisbawahi bukan sekadar persoalan administratif kewenangan, melainkan kemauan politik dan komitmen moral lembaga pemerintah untuk membuka diri.
Transparansi adalah jantung demokrasi. Jika sebuah instansi vertikal berlindung di balik alasan kewenangan untuk menghindari keterbukaan, maka publik berhak curiga: ada apa yang disembunyikan?
Komisi Informasi, baik di daerah maupun pusat, seharusnya berdiri di garis depan memastikan hak warga terlindungi. Pelimpahan perkara ke KI Pusat adalah jalan wajib, bukan pilihan. Dan negara mesti menjawab tuntutan ini, bukan membiarkan pemohon dan publik dibiarkan menggantung dalam ruang abu-abu hukum.
Kasus ini menjadi pengingat keras: keterbukaan informasi bukan hadiah dari pemerintah, melainkan hak konstitusional warga negara. Jika lembaga publik menutupinya, itu sama saja mengkhianati amanat reformasi. (Mn/*)