Pangkalpinang – Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas luar biasa, khususnya pada ekosistem air tawar. Setiap daerah memiliki karakteristik ekologis yang unik dan melahirkan spesies ikan endemik dengan ciri khas berbeda-beda. Namun dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa habitat alami ikan endemik semakin menyempit, sementara kesadaran akan pentingnya konservasi belum sebanding dengan besar ancaman yang dihadapi.
Penyempitan habitat perairan sebenarnya bukan persoalan baru, tetapi tingkat kerusakannya kini semakin mengkhawatirkan. Alih fungsi lahan secara masif—mulai dari perkebunan, pertambangan, hingga pemukiman—telah mengubah struktur ekosistem perairan secara drastis. Aliran sungai yang dulunya jernih kini dipenuhi sedimen dan limbah. Rawa gambut banyak yang hilang akibat deforestasi, dan area resapan air lenyap oleh pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek ekologis. Ikan endemik yang membutuhkan kualitas air sangat spesifik tidak mampu beradaptasi dengan cepatnya perubahan lingkungan ini. Mereka bukan spesies yang bisa hidup “di mana saja”.

Baca juga: Menjaga Tempalak Mirah, Menjaga Martabat Ekologi Bangka
Masih ada pula anggapan keliru yang menyatakan bahwa konservasi ikan endemik tidak mendesak karena “ikan hanyalah sebagian kecil dari keanekaragaman hayati dan tidak memiliki nilai ekologis penting”. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa ikan endemik adalah indikator langsung kesehatan ekosistem. Jika ikan endemik menghilang, itu menandakan kerusakan serius pada lingkungan perairan. Dampaknya bukan hanya pada hilangnya spesies unik, tetapi juga pada stabilitas ekosistem jangka panjang—termasuk kualitas air yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya konservasi ikan endemik harus dilakukan secara terstruktur dan terukur. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menetapkan kebijakan perlindungan kawasan perairan. Tanpa aturan yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten, rehabilitasi habitat hanya akan menjadi upaya kecil yang kalah oleh kecepatan kerusakan. Lembaga penelitian dan komunitas pegiat lingkungan harus dilibatkan dalam pemetaan habitat kritis, pemantauan populasi, hingga edukasi masyarakat. Masyarakat lokal pun perlu diberdayakan agar memahami bahwa menjaga kualitas perairan adalah investasi jangka panjang untuk keberlanjutan lingkungan.
Baca juga: Betta burdigala, Fauna Identitas Sejati Bangka Belitung
Konservasi ex-situ, seperti penangkaran atau budidaya ikan endemik, dapat menjadi langkah pendukung, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan habitat alami. Tanpa pemulihan ekosistem, ikan hasil penangkaran akan kembali menghadapi kondisi perairan yang sama rusaknya. Karena itu, pendekatan konservasi harus komprehensif: menjaga habitat, memperbaiki kualitas air, mengurangi pencemaran, mengendalikan alih fungsi lahan, dan meningkatkan kesadaran publik.
Pada akhirnya, penyempitan habitat merupakan alarm keras bahwa kita sedang kehilangan kekayaan hayati yang bernilai strategis bagi daerah. Konservasi ikan endemik bukanlah agenda sampingan, tetapi urgensi yang menentukan apakah Indonesia masih mampu mempertahankan identitas ekologisnya di masa depan. Kita tidak boleh menunggu hingga spesies endemik hanya tinggal dikenang dalam buku ilmiah sebagai bagian dari sejarah yang telah punah. Tindakan harus diambil sekarang—tegas, terarah, dan melibatkan semua pihak.



