5 Tahun Relokasi Fiktif Budaya Terabaikan (Foto: doc. Instagram/@serumpunsuara)
Oleh Serumpun Suara • Ulasan Suara
Di tengah Geliat pembangunan yang rakus ruang dan retorika optimalisasi aset, satu per satu tapak warisan budaya rakyat dihapus dari peta kota di Pangkalpinang, Gedung Hamidah adalah korbannya.
Bangunan bersejarah yang selama puluhan tahun menjadi rumah pertunjukan seni, tempat resepsi rakyat, hingga panggung kebudayaan kini telah kehilangan fungsinya yang hakiki sebagai ruang publik.
Sejak 2020, Gedung Hamidah telah disewakan dan dialihfungsikan menjadi tempat usaha komersial.
Kilas Sejarah Gedung Hamidah
Gedung Hamidah dibangun pada awal 1970-an dan dinamai “Hamidah” untuk mengenang Hamidah Hasyim, istri dari H. Hasyim Idris, Wali Kota Pangkalpinang ke-3.
Penamaan ini bukan basa-basi kekuasaan, melainkan bentuk penghormatan atas peran sosial Bu Hamidah, seorang figur perempuan yang aktif di bidang pendidikan, kegiatan kemasyarakatan, dan pelestarian budaya Melayu Bangka.
Gedung Hamidah kemudian menjadi simbol keterbukaan sosial kota Pangkalpinang, tempat anak muda belajar menari, pelaku seni pentas tradisi, hingga warga berkumpul dalam hajatan bersama.
Namun kini, gedung itu sepi dari gamelan, sunyi dari sorakan rakyat. Ruh kebudayaan telah diusir secara halus, digantikan lalu-lalang transaksi di ruang yang sebelumnya penuh makna.
Tak lama setelah kritik akibat penyewaan gedung ini, Pemerintah Kota Pangkalpinang merilis pernyataan publik. Pada 30 September 2021, melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum kala itu, Suparlan, pemerintah menyatakan akan membangun Gedung Hamidah pengganti di kawasan Tampuk Pinang Pura.
“Sudah kami rancang untuk direlokasi ke kawasan yang lebih luas, agar bisa menampung acara besar masyarakat. Ini solusi dari keterbatasan parkir dan kapasitas gedung lama,” ujar Suparlan kepada media lokal.
Masterplan pembangunan dijanjikan akan rampung pada akhir 2021, dan proyek fisik dimulai pada 2022. Pernyataan ini seolah ingin menenangkan masyarakat, seolah gedung lama memang harus dikomersilkan, tapi jiwa budayanya akan tetap hidup di tempat baru. Kenyataannya jauh dari itu.
Fakta di lapangan menunjukkan: pembangunan Gedung Hamidah pengganti tidak pernah dimulai. Tidak ada peletakan batu pertama, tidak ada proyek tender, tidak ada bukti visual atau administratif bahwa janji relokasi tersebut dijalankan.
Laporan APBD 2022 dan 2023 Kota Pangkalpinang tidak menunjukkan pengalokasian anggaran khusus untuk pembangunan gedung budaya baru. Bahkan, kawasan Tampuk Pinang Pura yang disebut akan menjadi lokasi baru, masih berupa lahan kosong tanpa aktivitas pembangunan apapun.
Sementara itu sepanjang 2022 dan 2023, komunitas seni lokal kehilangan panggung. Banyak yang terpaksa berpindah ke ruang sewaan kecil, sebagian lainnya berhenti total karena tidak adanya ruang yang memadai. Di saat kegiatan budaya mulai bangkit pasca pandemi, Pangkalpinang justru mengalami kemunduran infrastruktur kebudayaan.
Pada Tahun 2024-2025
Memasuki pertengahan 2025, Gedung Hamidah tetap tidak tergantikan. Kawasan relokasi tetap sunyi. Pemerintah kota pun tampak menghindari topik ini dalam setiap agenda publik. Janji relokasi yang dahulu diumumkan dengan penuh percaya diri menggantung tanpa pertanggungjawaban.
Tidak ada kejelasan. Tidak ada evaluasi. Tidak ada komunikasi publik. Hanya diam.
Apa yang hilang dari Pangkalpinang bukan hanya gedung fisik, tetapi ruang ekspresi kolektif warga. Gedung Hamidah adalah simbol ruang publik yang netral, tempat rakyat bisa tampil tanpa harus “menyewa gedung mewah“, tempat nilai-nilai lokal tumbuh dan dikenalkan kepada generasi muda. Ketika gedung itu dialihkan tanpa pengganti, dan janji hanya tinggal arsip berita, maka yang tercabut adalah akar budaya kota itu sendiri.
Kini Publik Berhak Bertanya:
- Apakah relokasi Gedung Hamidah sejak awal memang sungguh direncanakan, atau hanya dalih administratif untuk memuluskan penyewaan aset kota?
- Di manakah fungsi negara sebagai pelindung warisan budaya dan ruang publik?
Gedung Hamidah adalah Ruang Rakyat. Ia adalah panggung kecil tempat warga merasa setara. Kini, panggung itu telah ditutup tirainya oleh kebijakan yang berorientasi komersial, dan hingga kini tak ada janji yang ditepati.
Dan setiap janji yang tak ditepati oleh negara atas ruang publik rakyat, adalah catatan kelam dalam sejarah kota.
Catatan:
Hingga tulisan berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kota Pangkalpinang mengenai progres atau pembatalan rencana relokasi Gedung Hamidah.
Informasi mengenai Ibu Hamidah, istri Wali Kota Pangkalpinang ke-3 diperoleh dari sumber sejarah lokal terbatas. Hingga kini, dokumentasi visual dan narasi resmi tentang sosok beliau masih minim di arsip publik. Demikian dikutip dari Instagram @serumpunsuara. Penulis Rawanda Cumur