Peta SHP, Sumpah Ahli, dan Kekacauan Proses di Komisi Informasi

Lawangpos.com, Pangkalpinang — Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pangkalpinang menggelar sidang lanjutan perkara Edi Irawan melawan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan pihak tergugat. Kamis (11/9/2025).

Tiga aparatur sipil negara dari Dinas dipanggil sebagai saksi, yakni M. Yunus dari Dinas PUPR, Biro Hukum, Andi Yuspani, dan Bappeda, Andi Amandang. Ketiganya sebelumnya pernah tampil dalam persidangan di Komisi Informasi, bahkan disumpah sebagai saksi ahli terkait perkara permohonan 17 data yang diajukan oleh Edi Irawan.

Namun, fakta yang terungkap di persidangan kali ini berbeda jauh. Dalam sidang di Komisi Informasi, para saksi ahli tidak pernah diminta menunjukkan sertifikat keahlian yang relevan. Meski demikian, mereka tetap memberikan keterangan seolah-olah ahli di bidangnya. Lebih problematis lagi, pernyataan M. Yunus kala itu yang menyebutkan bahwa peta SHP tidak boleh diberikan kepada siapapun justru menimbulkan kontroversi. Alih-alih memperjelas duduk perkara, pernyataan tersebut dianggap semakin mengaburkan fakta.

Edi Irawan, yang merasa dirugikan atas putusan Komisi Informasi, kemudian mengajukan banding ke PTUN. Ia menyebut putusan majelis komisioner saat itu dibuat secara serampangan dan tidak mencerminkan asas keadilan. “Membaca putusan itu, kami merasa malu. Rasanya sulit masuk akal, apalagi disebut adil. Menurut saya, majelis komisioner saat itu tidak profesional dan tidak kompeten,” ujar Edi dengan nada keras.

Dalam sidang pemeriksaan saksi di PTUN, situasi berubah drastis. M. Yunus yang semula tampil percaya diri di Komisi Informasi, kini justru mencabut keterangan yang pernah ia sampaikan. Dengan wajah serius, ia menyatakan dirinya bukan saksi ahli. “Saya meminta maaf. Saya tidak pernah menyatakan diri sebagai ahli. Saya memohon ampun kepada Tuhan, karena saya memang bukan saksi ahli,” ucap Yunus.

Suasana ruang sidang seketika hening. Hakim, para pihak yang bersengketa, hingga hadirin, larut dalam ketegangan. Dua saksi lain, Andi Yuspani dan Andi Amandang, juga mengakui bahwa mereka sebelumnya memang disumpah sebagai saksi ahli, tetapi kini posisinya hanya saksi biasa.

Bagi Edi, pernyataan ini menjadi bukti tambahan betapa cacatnya proses di Komisi Informasi. Ia menilai banyak haknya terabaikan, bahkan keterangannya dalam persidangan sebelumnya tidak tercatat secara utuh dalam putusan. “Mudah-mudahan semua ini menjadi pelajaran. Jangan sok berlagak ahli di persidangan kalau faktanya tidak punya sertifikat keahlian,” kata Edi seusai sidang.

Kuasa hukum Edi, Bujang Musa, menambahkan bahwa putusan Komisi Informasi berpotensi cacat formil. “Kami sebagai orang hukum malu melihat putusan seperti itu. Seperti menebas air dengan kapak. Tidak berguna. Banyak keterangan klien kami yang hilang dari catatan. Komisi Informasi ini layak dievaluasi,” tegasnya.

Kasus ini pun menjadi sorotan publik. Sebab, untuk pertama kalinya, seorang warga secara individu mampu mengguncang kredibilitas dan citra Pemerintah Provinsi Babel, dengan memanfaatkan jalur hukum untuk menegakkan hak atas informasi publik. (Mn/*)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *