Kemenangan Edi: Tamparan Pertama untuk Wajah Birokrasi Pemprov Babel

Lawangpos.com, Pangkalpinang — Hari itu suasana di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendadak menjadi sorotan. Edi Irawan, seorang warga biasa yang bersenjata keyakinan pada keterbukaan informasi, hadir untuk menerima data yang dimenangkannya melalui putusan sengketa informasi publik dengan nomor: 003/VII/KIP-BABEL/2025. Data itu berupa dokumen Excel berisi Analisa Harga Satuan dan Harga Dasar (HSBU). Kamis (11/9/2025).

Kemenangan ini bukan yang pertama bagi Edi. Sebelumnya ia sudah menggugat Pemprov Babel dengan sengketa serupa. Bedanya, kali ini gugatan yang ia menangkan kian menegaskan betapa lemahnya logika hukum yang digunakan pejabat publik dalam menolak memberikan informasi. “Sejak awal sudah saya perkirakan. Pemerintah Provinsi lewat PPID dan Diskominfo bersikap arogan, menganggap masyarakat ini bodoh. Dari surat tanggapan saja sudah kelihatan—takut data terbuka karena khawatir dimanipulasi. Itu alasan absurd. Bagaimana mungkin pejabat publik berpikir tanpa nalar hukum? Kalau Gubernur jeli, orang-orang seperti itu cukup jadi staf biasa, bukan menduduki kursi strategis,” ujar Edi dengan nada getir.

Ucapan Edi tidak sekadar sindiran. Ia menegaskan, kemenangan ini bukan semata soal pribadi, melainkan tamparan keras bagi tata kelola birokrasi di Bangka Belitung. “Kami tidak sedang bergembira atas kemenangan. Justru kami malu. Malu sebagai masyarakat yang menyaksikan pejabat tinggi tak punya empati, bahkan tak merasa bersalah. Ini catatan buruk yang akan terus diingat publik,” imbuhnya.

Dalam prosesi serah terima data itu, Edi hadir bersama kuasa hukumnya, pengacara senior Bujang Musa—akrab dipanggil Pak BM. Menariknya, pelayanan staf Diskominfo berjalan sangat baik, jauh berbeda dengan sikap arogansi pejabat di atasnya. “Mulai hari ini, tak ada alasan lagi bagi Pemprov Babel menutup akses terhadap data HSBU. Putusan ini bukan hanya kemenangan saya, tetapi yurisprudensi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Setiap informasi yang lahir dari uang rakyat, selama tidak dikecualikan pasal 17 UU KIP, adalah milik publik,” tegas Edi.

Fenomena ini sekaligus memperlihatkan preseden buruk bagi Pemerintah Provinsi Babel. Fakta bahwa seorang warga biasa mampu menundukkan arogansi penguasa melalui jalur hukum adalah simbol krisis kepercayaan publik. Hukum seharusnya menjadi instrumen pelayanan, bukan alat untuk membatasi hak masyarakat. “Untuk pejabat tinggi, segeralah sadar diri. Jika tidak cukup cerdas memahami hukum, jangan memaksa duduk di kursi strategis. Gubernur pun harus jeli memilah mana yang layak, mana yang hanya menjadi beban publik,” pungkas Edi.

Kemenangan Edi adalah bukti bahwa individu, dengan keberanian dan pengetahuan hukum, mampu mengguncang wajah kekuasaan. Dari ruang sidang hingga meja serah terima data, perjuangannya mengingatkan satu hal: hak masyarakat adalah harga mahal yang wajib dijaga. (Mn/*)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *