Pangkalpinang — Selama bertahun-tahun, publik Bangka Belitung (Babel) menganggap Tarsius bancanus, si Mentilin bermata besar dari Belitung, sebagai ikon dan satwa endemik daerah. Namun, penelitian ilmiah terbaru yang dikaji ulang oleh peneliti nasional dan internasional — salah satunya oleh Swarlanda, peneliti independen dan pemerhati biodiversitas air tawar Babel — mengungkap fakta berbeda yang menantang anggapan lama tersebut.
Fakta-fakta lapangan dan hasil kajian genetika menunjukkan bahwa Bangka dan Belitung justru menyimpan sembilan spesies endemik murni yang tak ditemukan di tempat lain di dunia. Spesies-spesies ini lahir dari isolasi geografis dan evolusi unik, menjadikan Babel sebagai salah satu episentrum biodiversitas air tawar Asia Tenggara.
Swarlanda dan Misi Menemukan Fauna Asli Babel
Selama lebih dari satu dekade, Swarlanda aktif menelusuri rawa gambut dan hutan air hitam Bangka. Ia tak sekadar mencatat keberadaan spesies langka, tetapi membuktikan bahwa pulau ini memiliki tingkat endemisitas tertinggi di Asia Tenggara untuk kelompok ikan air tawar.
“Selama ini publik mengenal Tarsius sebagai ikon Belitung. Tapi kita lupa bahwa Bangka menyimpan garis keturunan spesies tanpa induk, spesies yang benar-benar lahir dari tanahnya sendiri,” tulis Swarlanda dalam catatan lapangannya.

Baca juga: Swarlanda: Sang Penjaga Harta Karun Biologis Dunia
Tarsius bancanus saltator: Subspesies, Bukan Endemik Murni
Secara ilmiah, Tarsius bancanus saltator memang hanya ditemukan di Pulau Belitung. Namun, statusnya masih subspesies dari Tarsius bancanus, yang juga tersebar di Bangka, Kalimantan, dan Natuna (Groves & Shekelle, 2010; IUCN, 2020).
Artinya, saltator belum diakui sebagai spesies penuh secara global, dan status konservasinya masih tergabung dalam kategori Vulnerable (VU). Dengan demikian, klaim bahwa Mentilin adalah fauna endemik murni Belitung lebih bersifat administratif ketimbang ilmiah.
Betta burdigala: Fauna Identitas Sejati Bangka Belitung
Sebaliknya, Betta burdigala — si Tempalak Mirah dari rawa gambut Bangka — adalah spesies penuh (valid species) yang dideskripsikan oleh Kottelat & Ng (1994) dan diakui secara global. Ia hanya hidup di rawa gambut asam Pulau Bangka dan kini berstatus Critically Endangered (CR).
Swarlanda menegaskan,
“Kalau Belitung punya Tarsius bancanus sebagai simbol, maka Bangka punya Betta burdigala — simbol ilmiah sejati yang lahir dari rawa gambutnya sendiri.”
Sudah seharusnya Betta burdigala ditetapkan sebagai fauna identitas resmi Bangka Belitung, menggantikan Mentilin. Alasannya jelas dan berbasis sains: Betta burdigala adalah spesies endemik murni yang mewakili identitas ekologis Babel, sementara Mentilin bukan.
Sayangnya, hingga kini pemerintah daerah belum memperbarui regulasi tersebut dan masih berfokus pada spesies yang secara ilmiah bukan endemik asli. Padahal, pengakuan resmi terhadap Betta burdigala akan menjadi langkah penting dalam diplomasi konservasi dan penegasan identitas ilmiah daerah.

Gymnochanda verae dan Ichthyophis billitonensis: Endemik Asli Belitung
Penelitian lanjutan Swarlanda juga menemukan bahwa endemik sejati Pulau Belitung bukan hanya ikan tembus pandang Gymnochanda verae, tetapi juga amfibi langka Ichthyophis billitonensis (Caecilian Belitung).
Keduanya hidup di habitat yang sangat spesifik dan rapuh — air jernih berbatu granit. Gymnochanda verae berstatus Endangered (EN) dan menjadi satu-satunya ikan tembus pandang alami di wilayah biogeografi Sunda. Sementara Ichthyophis billitonensis masih berstatus Data Deficient (DD) karena penelitian lapangan yang terbatas.
Ancaman Nyata dan Tanggung Jawab Kolektif
Ironisnya, saat dunia akademik mengakui pentingnya biodiversitas Bangka Belitung, di lapangan spesies-spesies endemik ini justru diperjualbelikan lintas negara dengan harga mencapai ratusan dolar per ekor. Kondisi habitat terus memburuk akibat konversi lahan dan aktivitas penambangan timah yang tidak terkendali.
Karena itu, tanggung jawab pelestarian tidak hanya berada di tangan pemerintah dan masyarakat, tetapi juga harus diemban oleh sektor industri, terutama PT Timah Tbk, sebagai pelaku utama di wilayah ini. Perusahaan semestinya tidak berhenti pada program CSR yang bersifat seremonial, tetapi membentuk divisi riset dan konservasi permanen — sebuah langkah nyata untuk memulihkan ekosistem dan melindungi identitas biologis Bangka Belitung secara berkelanjutan.
Prinsip ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Selain itu, komitmen ini juga sejalan dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity – CBD) dan Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menuntut tanggung jawab korporasi dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Kolaborasi Global Swarlanda
Riset yang dilakukan Swarlanda kini menjalin jaringan lintas benua dengan sejumlah ilmuwan dunia, di antaranya:
-
Dr. Josie South – University of Lincoln, Inggris
-
Dr. Seyed Hossein Eagderi – University of Tehran, Iran
-
Felipe P. Ottoni – Federal University of Rio de Janeiro, Brasil
-
Dr. Tan Heok Hui – National University of Singapore
-
SHOAL / IUCN SSC ASAP – Southeast Asia Programme Coordinator
Kolaborasi ini menjadikan hasil riset Bangka Belitung sebagai referensi penting bagi studi genetik ikan air tawar dunia.
Daftar publikasi utama meliputi:
-
Cybium Journal – First Record of Mastacembelus notophthalmus in Bangka Island (Eprints White Rose, University of Leeds)
-
IOP Conference Series – DNA Barcoding Betta burdigala and Betta uberis
-
Iranian Journal of Ichthyology – Notes on Southeast Asian Biodiversity (2023)
Daftar 9 Spesies Endemik Asli Bangka Belitung
| No | Spesies / Nama Ilmiah | Nama Lokal | Status | Status Konservasi (IUCN) |
|---|---|---|---|---|
| 1 | Betta burdigala | Tempalak Mirah | Endemik Pulau Bangka | Critically Endangered (CR) |
| 2 | Betta chloropharynx | Tempalak Budu | Endemik Pulau Bangka | Critically Endangered (CR) |
| 3 | Betta schalleri | Tempalak Punggor | Endemik Pulau Bangka | Endangered (EN) |
| 4 | Parosphromenus deissneri | Tempalak Igik Labu | Endemik Pulau Bangka | Endangered (EN) |
| 5 | Gymnochanda verae | Ikan Temlayar Kace | Endemik Pulau Belitung | Endangered (EN) |
| 6 | Ichthyophis billitonensis | Belum terangkum | Endemik Pulau Belitung | Data Deficient (DD) |
| 7 | Encheloclarias tapeinopterus | Keli Sulong | Endemik Pulau Bangka | Vulnerable (VU) |
| 8 | Sundadanio gargula | Ikan Bebiuuu | Endemik Pulau Bangka | Vulnerable (VU) |
| 9 | Parosphromenus juelianae | Ikan Butiek Labeu | Endemik Pulau Bangka | Dalam peninjauan IUCN |
Sumber: FishBase / IUCN Red List









Menghargai Ilmuwan Independen dan Fakta Lapangan
Swarlanda adalah contoh nyata ilmuwan non-akademik Indonesia yang diakui dunia. Ia bekerja mandiri di bawah Yayasan Ikan Endemik Bangka Belitung (YIEBB), tanpa sokongan besar lembaga negara, namun mampu menghasilkan temuan yang kini dijadikan acuan global.
Sudah seharusnya pemerintah dan lembaga pendidikan memberikan apresiasi nyata, bukan mengesampingkan kontribusinya. Pengakuan terhadap ilmuwan seperti Swarlanda bukan hanya keadilan ilmiah, tetapi juga penghormatan terhadap sains dan perjuangan konservasi berbasis integritas.
Menjaga Identitas, Menyelamatkan Masa Depan
Dari sembilan spesies endemik ini, jelas bahwa Babel bukan sekadar daerah wisata, melainkan rumah bagi garis keturunan purba yang tak tergantikan.
Bangka dengan rawa gambutnya dan Belitung dengan air jernih granitnya mewakili dua ekosistem dunia yang unik dan saling melengkapi.
Swarlanda menegaskan,
“Bangka Belitung bukan sekadar destinasi wisata, tapi pusat kelahiran spesies dunia. Identitas sejatinya ada di rawa, bukan di pepohonan.”











