PARTLA MERAPAL MANTRA DALAM RUANG SUNYI (Foto: doc. Dio Andika P dan Putera Rizky Islam)
Oleh: Rawanda Cumur
Pangkalpinang, lawangpos.com – Pada 28 Juni 2025, Pangkalpinang Art Laboratory (PARTLA) menghadirkan Showcase Titik Temu di Kedai Museum, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Acara ini menempatkan teater sebagai medium pembacaan ulang terhadap relasi sosial, kebijakan kebudayaan, dan regenerasi aktor seni pertunjukkan di Bangka Belitung.
Pertunjukkan berlangsung di atas lantai tanah tanpa panggung tinggi. Penonton mengelilingi ruang pementasan dalam dua lapis: sebagian duduk lesehan di atas terpal di tepi panggung, sebagian lainnya berada di dalam area kedai.
Tata ruang ini menegaskan relasi yang setara antara penampil dan penonton, membentuk dinamika yang lebih cair dan langsung.
Di sisi belakang panggung, sekelompok pemusik memainkan alat musik tradisional dengan nuansa etnik. Iringan ini tidak hanya menjadi latar suara, tetapi ikut mengatur ritme dan emosi pertunjukkan, mengisi transisi adegan sekaligus memperkuat atmosfer naratif yang dibangun para aktor.
Format ini menunjukkan pendekatan yang lebih membumi terhadap seni pertunjukan: ruang terbuka, kedekatan tubuh, suara hidup, dan distribusi perhatian yang tidak terpusat.
Dalam konteks kebudayaan lokal, ini juga menjadi bentuk resistensi terhadap standar panggung yang seringkali hanya mereproduksi hierarki tontonan.
Ronin Teater: Ekspresi Muda dan Tuduhan Moral
Pementasan dibuka oleh Ronin Teater melalui lakon Puisi Menjaga Pancasila. Dibawakan oleh kelompok anak-anak, pertunjukkan ini menyajikan pertemuan antara tubuh-tubuh muda dan narasi kritis.
Dengan gaya teatrikal yang lugas dan ekspresif, mereka menyampaikan kegelisahan tentang dekadensi nilai, kehilangan adab, dan absurditas sosial yang semakin normal.
Meski dibawakan oleh anak-anak, substansi pertunjukan justru mengandung kritik yang dewasa: ketidakberadaban tumbuh bukan dari kekurangan moral individu, melainkan dari sistem yang meniadakan ruang tumbuh yang adil bagi generasi baru.
Dengan suara yang lantang dan gestur yang berani, pementasan ini memperlihatkan bahwa anak-anak tidak hanya menjadi objek dari sistem, tetapi juga mampu menjadi subjek yang bersuara.
PARTLA dan Kekerasan Kesunyian dalam “Tetangga Masuk ke Kamar Tidurku”
Lakon utama malam itu adalah Tetangga Masuk ke Kamar Tidurku, ditulis oleh David Fernandez dan dipentaskan oleh PARTLA.
Naskah ini disusun dalam fragmen-fragmen puitik dan performatif yang menyampaikan pesan sosial secara tidak linier, dengan pendekatan absurd dan metaforik.
Pertunjukkan dimulai dari ruang agraris yang sakral perempuan menari sambil menaburkan beras kuning, membacakan mantra tentang tanah, laut, dan harapan.
Namun narasi segera berbelok ke kritik sosial yang tajam: tubuh-tubuh yang diinvasi, ruang domestik yang dilanggar, dan kehidupan yang kehilangan keintiman.
Lagu anak-anak dilintir menjadi satire, para penjaga tampil dengan tubuh lelah yang terus dipaksa bergerak, hingga adegan penutup yang memperlihatkan kegembiraan artifisial lewat musik dangdut.
Naskah ini mengandalkan kontras: antara ritual dan kekacauan, antara nyanyian dan teriakan, antara gerak dan kebekuan.
Kesunyian menjadi motif utama, disematkan dalam hampir setiap adegan sebagai metafora keterasingan struktural dan hilangnya ruang aman baik secara fisik, kultural, maupun spiritual.
Dalam satu adegan, salah satu karakter menyebut: “Peradaban akan masuk ke ruang paling intim dalam dirimu, lalu merusak dan meninggalkannya begitu saja.” Kalimat ini menjadi poros pembacaan terhadap keseluruhan pertunjukkan.
Bahwa yang dilawan bukan hanya kekuasaan luar, tetapi juga kolonialisasi diam-diam terhadap kesadaran, harapan, dan keintiman manusia.
Forum Dialog: Menuju Kebijakan Teater yang Berbasis Pendidikan
Usai pertunjukan, forum diskusi dilangsungkan dalam format Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan perwakilan seniman, komunitas, dan lembaga kebudayaan.
Diskusi malam itu difokuskan pada satu isu utama: bagaimana menjadikan teater sebagai bagian dari program pendidikan formal, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pak Wiwit, pelaku teater tradisional Dul Muluk, menyoroti bagaimana kesenian lokal yang pernah hidup justru terpinggirkan dalam struktur kebijakan saat ini.
Meskipun beberapa wacana pelestarian sempat dibicarakan dengan pemerintah, tidak ada tindak lanjut yang nyata.
Dul Muluk, sebagai ekspresi teater tradisi, dinilai memiliki potensi besar sebagai pintu masuk pengenalan seni teater bagi pelajar.
Bu Pupung Damayanti dari Dinas Kebudayaan hadir sebagai narasumber birokrasi. Ia mengakui perlunya koordinasi lintas sektor untuk menjawab tantangan regenerasi pelaku teater.
Diskusi berjalan cukup cair, meskipun tetap memperlihatkan jurang antara kebutuhan komunitas dan keterbatasan kelembagaan.
PARTLA mengusulkan dua agenda strategis: Pertama, memasukkan teater sebagai program pembelajaran di lembaga pendidikan. Kedua, merancang Festival Teater tahunan sebagai ruang apresiasi bagi siswa, mahasiswa, dan komunitas.
Kesimpulan: Teater Sebagai Desakan Kultural
Titik Temu bukan sekadar ruang pementasan. Ia bekerja sebagai simpul artikulasi dari berbagai kegelisahan yang bersinggungan: tentang peran negara dalam membangun ekosistem seni, tentang absennya strategi regenerasi, serta tentang fungsi sosial teater itu sendiri.
Acara ini menjadi lanjutan dari langkah PARTLA sebelumnya dalam Hilang Daratan (2024) di Panti Wangka. Namun, Titik Temu tidak sekadar hadir sebagai lanjutan artistik. Ia adalah intervensi. Sebuah pernyataan kolektif bahwa teater di Bangka Belitung tidak sedang menunggu ruang, tetapi sedang memperjuangkannya.
Dalam medan sosial yang ditandai oleh kekosongan programatik dan dominasi bentuk seni lainnya, inisiatif seperti ini menjadi penting. Ia membuka ruang negosiasi, mengaktifkan wacana, dan yang terpenting menjaga ingatan bahwa teater masih mungkin hidup, selama ia tidak diam.
Penulis: Rawanda Cumur
Foto: Dio Andika P, Putera Rizky Islam