Pangkalpinang– Taman Wilhelmina sore itu, Sabtu (9/8/2025), bukan sekadar tempat berkumpulnya warga. Lapangan yang akrab disebut Taman Sari itu menjelma menjadi panggung hidup kebudayaan Pangkalpinang. Denting irama bedambus dan langkah lincah bedincak memikat perhatian ratusan pasang mata yang hadir untuk memeriahkan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Di tengah riuhnya sorakan penonton, hadir sosok perempuan muda yang tak asing bagi warga Pangkalpinang—Dessy Ayutrisna. Dengan senyum ramah dan busana kasual bernuansa etnik, ia berjalan menyusuri area lomba “Bedincak dan Bedambus Ala Urang Pengkal”, menyapa warga, dan memberi semangat kepada para peserta.
“Tradisi seperti ini adalah identitas kita. Semakin kita kenalkan kepada generasi muda, semakin kokoh akar kebudayaan Pangkalpinang,” ujar Dessy, penuh keyakinan.
Bedincak, tarian khas dengan gerakan kaki cepat mengikuti tabuhan musik, dan bedambus, seni musik tradisional yang dulu dimainkan untuk melepas lelah usai berkebun, menjadi ikon dalam acara ini. Bagi Dessy, keduanya bukan hanya hiburan, tetapi warisan yang harus dirawat agar tak tergerus zaman.
Menurutnya, pelestarian budaya memiliki nilai strategis dalam pembangunan daerah. “Bayangkan jika setiap bulan ada panggung budaya seperti ini. Warga terhibur, UMKM terbantu, anak muda punya ruang kreativitas, dan wisatawan akan melihat sisi lain Pangkalpinang yang memikat,” jelasnya.
Kehadiran Dessy di tengah masyarakat tidak hanya sebagai tamu undangan, melainkan sebagai bagian dari komunitas. Ia tak segan turun di tengah-tengah peserta dan penonton untuk bersama menari Bedincak bersama anak-anak, berbincang hangat dengan pedagang makanan, hingga berfoto bersama peserta.
Bagi warga, sikap itu menjadi bukti kepeduliannya. “Kalau mau lihat siapa yang benar-benar peduli sama budaya kita, ya datanglah ke acara seperti ini. Bu Dessy ini hadir, senyum, ngobrol sama semua orang,” ungkap Areng, anggota komunitas penikmat kopi Walikopi.
Acara ditutup dengan puncak kemeriahan—alunan bedambus yang menghentak dan gerakan bedincak yang kompak, membawa suasana pada rasa bangga dan haru. Sebelum meninggalkan lokasi, Dessy menyampaikan pesan singkat namun sarat makna, “Pangkalpinang akan semakin maju jika kita membangun dengan menghormati dan menghidupkan budaya kita sendiri.”
Langkahnya meninggalkan Taman Wilhelmina, namun gema kebudayaan yang ia gaungkan terus hidup di hati warga—mengikat masa lalu, kini, dan masa depan Pangkalpinang dalam satu tarian identitas yang tak lekang waktu.
(Lawangpos | Ryo Esha)