Lawangpos.com, Pangkalpinang — Pasca empat pejabat BWS Babel terjerat kasus dugaan korupsi pemeliharaan rutin sumber daya air, Edi Irawan mendatangi Komisi Informasi Daerah (KID) Bangka Belitung yang berlokasi di kawasan perkantoran Gubernur, Air Itam. Di tangannya, setumpuk dokumen gugatan yang akan ia daftarkan. Sikapnya menjadi pemandangan yang jarang: seorang warga secara langsung menggunakan mekanisme hukum untuk menantang institusi negara. Senin (16/9/2025).
Isu yang ia bawa tidak berdiri di ruang hampa. Beberapa waktu lalu, Balai Wilayah Sungai (BWS) Bangka Belitung, unit kerja di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, menjadi sorotan. Empat pejabatnya—RS, K, MSA, dan OA—ditahan terkait dugaan korupsi dana pemeliharaan rutin sumber daya air. Kasus itu memperlihatkan wajah buram sebuah lembaga yang mestinya mengelola air, salah satu sumber kehidupan paling vital, justru terjerat praktik yang mencederai publik.
Di tengah pusaran kasus tersebut, muncul persoalan lain. Permintaan informasi publik yang diajukan Edi tak kunjung dipenuhi. “Semua instansi lepas tangan. Tidak ada yang mau mengakui memiliki dokumen itu,” kata Edi saat ditemui wartawan. Ia menilai perilaku birokrasi tersebut mencerminkan penyakit lama: pejabat enggan transparan, bahkan pada data yang seharusnya terbuka.
Informasi yang dimintanya bukan hal sepele. Edi menyoal dokumen akademik dan kajian teknis mengenai Kolam Retensi Kacang Pedang di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang. Kolam ini menampung limpasan air dari Bangka Tengah dan sebagian besar wilayah Pangkalpinang, menjadi titik krusial dalam penanganan banjir. Edi juga meminta gambar kerja dalam format Autocad untuk menghitung ulang kapasitas tampung. “Masa alasan ilmiah saja tidak boleh diketahui publik? Bukankah mereka itu seharusnya pelayan masyarakat?” ujarnya.
Permintaan itu berlandaskan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi Edi, keterbukaan adalah fondasi peradaban. “Tanpa informasi yang terbuka, bangsa ini hanya akan melahirkan manusia-manusia tanpa kesadaran, sekadar berjalan tanpa arah,” katanya dengan suara tegas.
Sikap kritis Edi bukan hal baru. Pemuda yang aktif di bidang pendidikan itu kerap menyuarakan pentingnya transparansi dalam tata kelola negara. Gugatan ke KID ini hanyalah satu dari rangkaian langkah hukum yang ia pilih. Menurutnya, birokrasi yang menutup akses informasi hanya akan melahirkan kemunafikan. “Yang ditampilkan ke publik hanyalah sandiwara. Sementara yang diberikan ke masyarakat ibarat makanan basi, tidak bisa ditelan,” ucapnya getir.
Kini, gugatan itu resmi berjalan. Edi, seorang individu, berhadapan langsung dengan lembaga negara. Pertarungan ini memperlihatkan bahwa ruang hukum bisa diakses siapa saja, bukan monopoli segelintir elite. Bagi banyak aktivis, akademisi, mahasiswa, hingga pengamat kebijakan, langkah Edi menjadi prototipe: bukti bahwa hak atas informasi bukan sekadar jargon, melainkan instrumen nyata untuk menagih akuntabilitas.
Kasus ini bukan hanya soal kolam retensi. Lebih jauh, ini tentang bagaimana negara memperlakukan warganya ketika mereka meminta hak paling mendasar: informasi. Gugatan Edi bisa menjadi titik balik, apakah hukum benar berdiri di pihak rakyat, atau sekadar formalitas yang tak digubris birokrasi. (Mn/*)