Opini : Ryo Esha | Wartawan CNN ( Cuma Nanya -Nanya)
Menjelang Pilkada, udara politik kita kembali dipenuhi aroma wangi amplop baru. Dan entah siapa yang mempopulerkan, satu slogan sakti kembali jadi tren: “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya.”
Katanya ini bentuk perlawanan rakyat. Padahal kalau dipikir-pikir, ini cuma cara sopan untuk bilang, “Ayo sama-sama bohong.”
Mari kita jujur. Kalau ada orang menitipkan sesuatu—entah itu amanah, barang, atau sekadar janji—lalu kita pura-pura setuju tapi diam-diam mengkhianatinya, bukankah itu definisi sederhana dari “tidak amanah”?
Ironisnya, kita ini rajin ikut pengajian, hafal ayat-ayat tentang amanah, bahkan bangga menyebut diri pengikut Nabi Muhammad SAW yang menekankan integritas. Tapi begitu ada aroma uang logam dan kertas, tiba-tiba kita semua jadi ustaz dalam teori, sekaligus maling dalam praktik.
Logika “ambil saja uangnya” ini sama seperti menerima mahar pernikahan sambil berencana kabur di malam pertama. Iya, sah-sah saja kalau mau dibilang pintar, tapi jangan kaget kalau sebenarnya kita cuma melatih diri jadi penipu bersertifikat.
Kalau memang tidak mau memilih si pemberi uang, bukankah lebih bermartabat untuk tidak menerimanya sejak awal? Menolak itu memang sulit—apalagi kalau dompet sedang menipis—tapi setidaknya kita tidak sedang ikut serta dalam transaksi tipu-menipu yang kita sendiri benci.
Pesta demokrasi seharusnya jadi ajang menunjukkan siapa yang punya integritas. Tapi kalau kita justru menjadikannya lomba kebohongan massal, jangan heran bila lima tahun lagi kita hanya ganti wajah di kursi kekuasaan, tapi tidak pernah ganti nasib.
Karena pada akhirnya, Pilkada bukan hanya ujian bagi calon yang bertarung, tapi juga ujian bagi rakyat yang memilih.
Kalau calon gagal jujur, kita marah. Tapi kalau kita sendiri gagal jujur, kita menyebutnya strategi.
Bedanya apa? Hanya posisi di atas panggung.
Kita sering mengutuk korupsi di gedung tinggi, tapi membela “korupsi kecil” di rumah sendiri. Kita mencaci pejabat yang mengkhianati rakyat, tapi bertepuk tangan saat tetangga mengkhianati titipan amplop. Kita lupa, racun tetap racun, meskipun diminum dengan sedotan emas atau plastik.
Dan mungkin, musuh terbesar demokrasi bukanlah politisi busuk di panggung kampanye.
Musuh terbesar demokrasi adalah rakyat yang merasa kebohongan kecilnya tidak akan pernah berdampak besar.
Kalau kita masih memegang teguh prinsip “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” — jangan salahkan siapa pun kalau lima tahun lagi, yang duduk di kursi kekuasaan hanyalah cermin dari diri kita sendiri.
(Lawangpos | Esha)