Lawangpos.com, Jakarta – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar Munas di Graha Saba Buana dan Edutorium UMS Solo. Diperkirakan 2.500 pengurus hadir Sabtu (19/7), diikuti sekitar 20.000 kader dan simpatisan Minggu (20/7).
Partisipasi dan E‑Voting: Menandai Demokrasi Internal
Sebanyak 187.306 kader PSI sudah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), menggunakan sistem e‑voting sejak 12–18 Juli yang menurut Andy Budiman—Ketua Steering Committee—adalah “prinsip ‘one man, one vote’” pertama dalam sejarah partai.
Peluang dan kekhawatiran muncul: meski Kaesang Pangarep diklaim kuat, sistem ini diuji legitimacy-nya. Analis BRIN Lili Romli menyoroti risiko pencitraan—jika pesaing tidak seimbang, proses bisa menjadi formalitas belaka.
Tokoh Tamu dan ‘Kejutan’ Politik
Langkah PSI menghadirkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencerminkan upaya menegaskan posisi nasional dalam “Kandang PDIP” di Solo.
Sosok paling diantisipasi: Joko Widodo, akan memimpin sesi diskusi Sabtu malam dan disebut sebagai “role model PSI”.
ini juga mengisyaratkan sejumlah “kejutan” seperti perubahan logo, branding baru, dan tokoh senior masuk PSI.
Rebranding dan Arah Baru Menuju 2029
PSI tengah menyiapkan rebranding total: logo, warna, dan secara strategis menambah wajah baru. PSI optimistis bisa menembus parlemen jika ambang parlemen ditetapkan 4 %.
Kekuatan Kaesang dan Konsolidasi Daerah Kaesang, diumumkan sebagai salah satu calon Ketum, mendapat dukungan kuat dari banyak DPW—termasuk Sulsel dan Semarang—yang mengeluarkan rekomendasi resmi. Soliditas ini terlihat jelas dalam dokumen dukungan sejak Mei–Juni 2025 .
Data internal PSI:
* DPT: 187.306 kader
* Dukungan daerah (Sulsel, Semarang, dll.) cukup solid
* E‑voting 12–18 Juli, pengumuman hasil 19–20 Juli.
5. Tantangan Legitimasi dan Ekspektasi Publik
Meski banyak dukungan dan inovasi sistem, kritik muncul:
* Demokrasi formal vs substantif: Sebagian mempertanyakan apakah perubahan AD/ART terjadi, atau kekuasaan tetap terpusat di elite partai.
* Pengaruh ‘brand Jokowi’: PSI belum berhasil lolos parlemen pada Pemilu 2024, meski dekat dengan Jokowi–Kaesang. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah strategi branding saat ini cukup menjaring dukungan nyata?
Narasi Jurnalis
Solo jadi ajang pembuktian—apakah PSI mampu membawa perubahan demokrasi internal menjadi modal politik nyata. Fokus kini tidak sekadar pilihan ketua, tetapi apakah e‑vote dan rebranding akan melahirkan PSI yang lebih matang dan diterima publik.
Analisis Data dan Kritis
* Data DPT menunjukkan basis kader cukup besar. Namun, perlu dibuktikan apakah partisipasi real memadai, bukan hanya angka administrasi.
* Dukungan daerah memberi bobot signifikan pada Kaesang, tapi tak menjamin terpilih; sistem e‑voting menyalurkan kekuatan bagi seluruh pemilih.
* Kehadiran tokoh nasional seperti Jokowi dan Prabowo bukan sekadar seremoni: ini sinyal politik kuat, namun juga beri tekanan ekspektasi terhadap PSI.
Elitisme vs Regenerasi Politik
Munas PSI 2025 menjadi peta jalan: apakah PSI benar-benar meredefinisi politik anak muda yang partisipatif? Jika AD/ART tetap menempatkan kekuasaan di elite, ini hanya sekadar facelift. Namun, bila e‑voting berlanjut sebagai kultur partai, PSI bisa tampil sebagai barometer demokrasi internal di Republik ini—selama juga mampu menyasar dukungan pengundi rakyat basis, bukan hanya kader.
(Lawangpos.com | Antca)